BAB
11
HAK
KEKAYAAN INTELEKTUAL (HAKI)
1. Pengertian Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)
Hak kekayaan intelektual adalah
sebuah wilayah hukum yang menangani hak-hak yang berhubungan dengan hasil usaha
kreatif manusia atau reputasi komersial dan goodwill.
Hak Atas Kekayaan Intelektual
(HAKI) atau Hak Milik Intelektual (HMI) atau harta intelek (di Malaysia) ini
merupakan padanan dari bahasa Inggris Intellectual Property Right. Kata
“intelektual” tercermin bahwa obyek kekayaan intelektual tersebut adalah
kecerdasan, daya pikir, atau produk pemikiran manusia (the Creations of the
Human Mind) (WIPO, 1988:3).
2. Prinsip-prinsip Hak Kekayaan
· Prinsip Ekonomi.
Prinsip ekonomi, yakni hak
intelektual berasal dari kegiatan kreatif suatu kemauan daya pikir manusia yang
diekspresikan dalam berbagai bentuk yang akan memeberikan keuntungan kepada
pemilik yang bersangkutan.
· Prinsip Keadilan.
Prinsip keadilan, yakni di dalam
menciptakan sebuah karya atau orang yang bekerja membuahkan suatu hasil dari
kemampuan intelektual dalam ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang akan
mendapat perlindungan dalam pemiliknya.
· Prinsip Kebudayaan.
Prinsip kebudayaan, yakni
perkembangan ilmu pengetahuan, sastra, dan seni untuk meningkatkan kehidupan
manusia.
· Prinsip Sosial.
Prinsip sosial ( mengatur
kepentingan manusia sebagai warga Negara ), artinya hak yang diakui oleh hukum
dan telah diberikan kepada individu merupakan satu kesatuan sehingga
perlindungan diberikan bedasarkan keseimbangan kepentingan individu dan
masyarakat.
3. Klasifikasi Hak Kekayaan Intelektual
Berdasarkan WIPO hak atas
kekayaan intelaktual dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu hak cipta (
copyright ) , dan hak kekayaan industri (industrial property right).
Hak kekayaan industry (
industrial property right ) adalah hak yang mengatur segala sesuatu tentang
milik perindustrian, terutama yang mengatur perlindungan hukum.
Hak kekayaan industry (
industrial property right ) berdasarkan pasal 1 Konvensi Paris mengenai
perlindungan Hak Kekayaan Industri Tahun 1883 yang telah di amandemen pada
tanggal 2 Oktober 1979, meliputi :
a. Paten
b. Merek
c. Varietas
tanaman
d. Rahasia
dagang
e. Desain
industry
f. Desain
tata letak sirkuit terpadu
4. Dasar Hukum Hak Kekayaan Intelektual di
Indonesia
·
UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
·
UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran
Negara RI Tahun 1982 Nomor 15)
·
UU Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas UU
Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 42)
·
UU Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU
Nomor 6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1987
(Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 29)
5. Hak Cipta
Hak Cipta adalah hak khusus bagi
pencipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya. Termasuk ciptaan yang
dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, sastra dan seni.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta :
Hak Cipta adalah hak eksklusif
bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya
atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan - pembatasan
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Pasal 1 ayat 1)
Hak cipta diberikan terhadap
ciptaan dalam ruang lingkup bidang ilmu pengetahuan, kesenian, dan
kesusasteraan. Hak cipta hanya diberikan secara eksklusif kepada pencipta,
yaitu “seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya
lahir suatu ciptaan berdasarkan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan
atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi”.
Dasar Hukum HAK CIPTA :
·
UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
·
UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran
Negara RI Tahun 1982 Nomor 15)
·
UU Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas UU
Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 42)
·
UU Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU
Nomor 6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1987
(Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 29)
6. HAK PATEN
Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2001:
Paten adalah hak eksklusif yang
diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil invensinya di bidang
teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya
tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya
(Pasal 1 Ayat 1).
Hak khusus yang diberikan negara
kepada penemu atas hasil penemuannya di bidang teknologi, untuk selama waktu
tertentu melaksanakan sendiri penemuannya tersebut atau memberikan persetujuan
kepada orang lain untuk melaksanakannya (Pasal 1 Undang-undang Paten).
Paten diberikan dalam ruang
lingkup bidang teknologi, yaitu ilmu pengetahuan yang diterapkan dalam proses
industri. Di samping paten, dikenal pula paten sederhana (utility models) yang
hampir sama dengan paten, tetapi memiliki syarat-syarat perlindungan yang lebih
sederhana. Paten dan paten sederhana di Indonesia diatur dalam Undang-Undang
Paten (UUP).
Paten hanya diberikan negara
kepada penemu yang telah menemukan suatu penemuan (baru) di bidang teknologi.
Yang dimaksud dengan penemuan adalah kegiatan pemecahan masalah
tertentu di bidang teknologi yang berupa :
1. proses;
2. hasil produksi;
3. penyempurnaan dan
pengembangan proses;
4. penyempurnaan dan
pengembangan hasil produksi
Dasar Hukum HAK PATEN :
·
UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten (Lembaran
Negara RI Tahun 1989 Nomor 39)
·
UU Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor
6 Tahun 1989 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 30)
·
UU Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten (Lembaran
Negara RI Tahun 2001 Nomor 109)
7. HAK MERK
Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2001 :
Merek adalah tanda yang berupa
gambar, nama, kata, huruf- huruf, angka- angka, susunan warna, atau kombinasi dari
unsur- unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan
perdagangan barang atau jasa. (Pasal 1 Ayat 1)
Merek merupakan tanda yang
digunakan untuk membedakan produk (barang dan atau jasa) tertentu dengan yang
lainnya dalam rangka memperlancar perdagangan, menjaga kualitas, dan melindungi
produsen dan konsumen.
Merek adalah tanda yang berupa
gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari
unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan
perdagangan barang atau jasa (Pasal 1 Undang-undang Merek).
Istilah – Istilah Merk :
Merek dagang adalah merek
yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa
orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan
barang-barang sejenis lainnya.
Merek jasa yaitu merek yang
digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang
secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis
lainnya.
Merek kolektif adalah merek
yang digunakan pada barang atau jasa dengan karakteristik yang sama yang
diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk
membedakan dengan barang atau jasa sejenis lainnya.
Hak atas merek adalah hak
khusus yang diberikan negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar
Umum Merek untuk jangka waktu tertentu, menggunakan sendiri merek tersebut atau
memberi izin kepada seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau
badan hukum untuk menggunakannya.
Dasar Hukum HAK MERK :
·
UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek (Lembaran
Negara RI Tahun 1992 Nomor 81)
·
UU Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor
19 Tahun 1992 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 31)
·
UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (Lembaran
Negara RI Tahun 2001 Nomor 110)
8. DESAIN INDUSTRI
Berdasarkan Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri :
Desain Industri adalah suatu
kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis
dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua
dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga
dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang,
komoditas industri, atau kerajinan tangan. (Pasal 1 Ayat 1)
9. RAHASIA DAGANG
Menurut Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang :
Rahasia Dagang adalah informasi
yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai
nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya
oleh pemilik Rahasia Dagang.
Narasumber
:
BAB
12
PERLINDUNGAN
KONSUMEN
1. Pengertian Konsumen
Pengertian Konsumen adalah Setiap
orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan.
2. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Upaya perlindungan konsumen di
tanah air didasarkan pada sejumlah asas dan tujuan yang telah diyakini bias
memberikan arahan dalam implementasinya di tingkatan praktis. Dengan adanya
asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen memiliki dasar pijakan
yang benar-benar kuat.
3. Hak dan Kewajiban Konsumen
Hak Konsumen:
· Hak atas kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi
barang/jasa.
barang/jasa.
· Hak untuk memilih dan
mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan .
kondisi serta jaminan yang dijanjikan .
· Hak atas informasi yang
benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang/jasa.
barang/jasa.
· Hak untuk didengar
pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.
Kewajiban Konsumen :
· Membaca atau mengikuti
petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau
jasa, demi keamanan dan keselamatan.
· Beritikad baik dalam
melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
· Membayar sesuai dengan
nilai tukar yang disepakati.
· Mengikuti upaya
penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara
patut.
patut.
4. Hak dan kewajiban pelaku usaha
· Hak untuk menerima
pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi
dan nilai tukar barang/jasa yang diperdagangkan.
dan nilai tukar barang/jasa yang diperdagangkan.
· Hak mendapat perlindungan
hukum dari tindakan konsumen yang beriktikad
tidak baik.
tidak baik.
· Hak untuk melakukan pembelaan
diri sepatutnya didalam penyelesaian hukum
sengketa konsumen.
sengketa konsumen.
· Hak untuk rehabilitasi
nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa konsumen
tidak diakibatkan oleh barang/jasa yang diperdagangkan.
tidak diakibatkan oleh barang/jasa yang diperdagangkan.
· Hak – hak yang diatur
dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.
5. Perbuatan yang dilarang bagi Pelaku Usaha
· Pelaku usaha dilarang
memproduksi/memperdagangkan barang/jasa yang tidak
memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang – undangan.
memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang – undangan.
· Tidak sesuai dengan berat
bersih, isi bersih atau netto dan jumlah dalam
perhitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barabg tersebut.
perhitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barabg tersebut.
· Tidak sesuia dengan
ukuran, takaran, timbangan dan jumlah.
6. Klausula baku dalam perjanjian
Klausula
Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan
dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan
dalam suatu dokumen dan / atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh
konsumen.
7. Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Pelaku
Usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/
atau kerugian konsumen akibat mengkomsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan
atau diperdagangkan.
Ganti
rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau
penggantian barang dan/ atau jasa yang sejenis atau secara nilainya, atau
perawatan kesehatan dan/ atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian ganti rugi dilaksanakan
dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. Pemberian
ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan
kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasrkan pembuktian lebih lanjut mengenai
adanya unsur kesalahan. (50 Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan
tersebut merupakan kesalahan konsumen.”
8. Sanksi Pelaku Usaha
Sanksi Bagi Pelaku Usaha Menurut
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
· Sanksi Perdata
Ganti rugi dalam bentuk :
- Pengembalian uang atau
- Penggantian barang atau
- Perawatan kesehatan, dan/atau
- Pemberian santunan
Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu
7 hari setelah tanggal transaksi.
Nara
Sumber :
BAB
13
ANTI
MONOPOLI DAN PERSAINGAN
USAHA
TIDAK SEHAT
1. PENGERTIAN
Secara etimologi, kata “monopoli”
berasal dari kata Yunani ‘Monos’ yang berarti sendiri dan ‘Polein’ yang berarti
penjual. Dari akar kata tersebut secara sederhana orang lantas memberi
pengertian monoopli sebagai suatu kondisi dimana hanya ada satu penjual yang
menawarkan (supply) suatu barang atau jasa tertentu.
“Antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti istlah “monopoli” Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah “dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya.
Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar ,dimana dipasar tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi yang potensial, dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan dan penawaran pasar.
Pengertian Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menurut UU no.5 Tahun 1999 tentang Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikankepentingan umum.
Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-undagn Anti Monopoli). Sementara yang dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli.
“Antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti istlah “monopoli” Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah “dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya.
Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar ,dimana dipasar tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi yang potensial, dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan dan penawaran pasar.
Pengertian Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menurut UU no.5 Tahun 1999 tentang Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikankepentingan umum.
Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-undagn Anti Monopoli). Sementara yang dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli.
2. Asas dan Tujuan Antimonopoli dan Persaingan
Usaha Asas
Pelaku usaha di Indonesia dalam
menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan
keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Tujuan :
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.
Tujuan :
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.
3. Kegiatan yang dilarang dalan antimonopoly
Kegiatan yang dilarang berposisi
dominan menurut pasal 33 ayat 2.Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku
usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan
dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi
di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan
keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk
menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Menurut pasal 33
ayat 2 “ Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Jadi, sektor-sektor ekonomi seperti
air, listrik, telekomunikasi, kekayaan alam dikuasai negara tidak boleh dikuasai swasta sepenuhnya
4. Perjanjian yang dilarang dalam Antimonopoli dan Persaingan Usaha
4. Perjanjian yang dilarang dalam Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Jika dibandingkan dengan pasal
1313 KUH Perdata, UU No.5/199 lebih menyebutkan secara tegas pelaku usaha
sebagai subyek hukumnya, dalam undang-undang tersebut, perjanjian didefinisikan
sebagai suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri
terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis
maupun tidak tertulis . Hal ini namun masih menimbulkan kerancuan. Perjanjian
dengan ”understanding” apakah dapat disebut sebagai perjanjian. Perjanjian yang
lebih sering disebut sebagai tacit agreement ini sudah dapat diterima oleh UU
Anti Monopoli di beberapa negara, namun dalam pelaksanaannya di UU No.5/1999
masih belum dapat menerima adanya ”perjanjian dalam anggapan” tersebut.
Sebagai perbandingan dalam pasal 1 Sherman Act yang dilarang adalah bukan hanya perjanjian (contract), termasuk tacit agreement tetapi juga combination dan conspiracy. Jadi cakupannya memang lebih luas dari hanya sekedar ”perjanjian” kecuali jika tindakan tersebut—collusive behaviour—termasuk ke dalam kategori kegiatan yang dilarang dalam bab IV dari Undang-Undang Anti Monopoli .
Perjanjian yang dilarang dalam UU No.5/1999 tersebut adalah perjanjian dalam bentuk sebagai berikut :
(a) Oligopoli
(b) Penetapan harga
(c) Pembagian wilayah
(d) Pemboikotan
(e) Kartel
(f) Trust
(g) Oligopsoni
(h) Integrasi vertikal
(i) Perjanjian tertutup
(j) Perjanjian dengan pihak luar negeri
Perjanjian yang dilarang penggabungan, peleburan, dan pengambil-alihan :
– Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan
Usaha atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan/Badan Usaha lain
yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasivadari Perseroan/Badan Usaha
yang menggabungkan beralih karena hukum kepadaPerseroan/Badan Usaha yang
menerima Penggabungan dan selanjutnya Perseroan/Badan Usaha yang
menggabungkan diri berakhir karena hukum.
– Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan
Usaha atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu
Perseroan/Badan Usaha baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva
dari Perseroan/Badan Usaha yang meleburkan diri dan Perseroan/Badan Usaha
yang meleburkan diri berakhir karena hukum.
– Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk
memperoleh atau mendapatkan baik seluruh atau sebagian saham dan atau asset
Perseroan/Badan Usaha. yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian
terhadap Perseroan/Badan Usaha tersebut Terdapat sepuluh jenis perjanjian dan
kegiatan usaha yang dikecualikan dari aturan UU No. 5/1999 (sebagaimana diatur
di pasal 50 dan 51 UU No.5/1999). Sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha
yang dikecualikan tersebut berpotensi menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya
karena dimungkinkan munculnya penafsiran yang berbeda-beda antara pelaku usaha
dan KPPU tentang bagaimana seharusnya melaksanakan sepuluh jenis perjanjian
dan kegiatan usaha tersebut tanpa melanggar UU No. 5/1999. Bisa jadi suatu
perjanjian atau suatu kegiatan usaha dianggap masuk dalam kategori pasal 50 UU
No. 5/1999 oleh pelaku usaha, tetapi justru dianggap melanggar undang-undang
oleh KPPU. Oleh karena itu, perlu adanya ketentuan lanjutan yang lebih detil
mengatur pelaksanaan sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha tersebut demi
menghindarkan salah tafsir dan memberikan kepastian hukum baik bagi pengusaha
maupun bagi KPPU. Sebagaimana dapat dibaca di pasal 50 dan 51, aturan tentang
sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha tersebut masing-masingnya diatur
dengan sangat singkat, dalam satu kalimat saja.
5. Hal-hal yang Dikecualikan dalam Monopoli
Sebagai perbandingan dalam pasal 1 Sherman Act yang dilarang adalah bukan hanya perjanjian (contract), termasuk tacit agreement tetapi juga combination dan conspiracy. Jadi cakupannya memang lebih luas dari hanya sekedar ”perjanjian” kecuali jika tindakan tersebut—collusive behaviour—termasuk ke dalam kategori kegiatan yang dilarang dalam bab IV dari Undang-Undang Anti Monopoli .
Perjanjian yang dilarang dalam UU No.5/1999 tersebut adalah perjanjian dalam bentuk sebagai berikut :
(a) Oligopoli
(b) Penetapan harga
(c) Pembagian wilayah
(d) Pemboikotan
(e) Kartel
(f) Trust
(g) Oligopsoni
(h) Integrasi vertikal
(i) Perjanjian tertutup
(j) Perjanjian dengan pihak luar negeri
Perjanjian yang dilarang penggabungan, peleburan, dan pengambil-alihan :
– Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan
Usaha atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan/Badan Usaha lain
yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasivadari Perseroan/Badan Usaha
yang menggabungkan beralih karena hukum kepadaPerseroan/Badan Usaha yang
menerima Penggabungan dan selanjutnya Perseroan/Badan Usaha yang
menggabungkan diri berakhir karena hukum.
– Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan
Usaha atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu
Perseroan/Badan Usaha baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva
dari Perseroan/Badan Usaha yang meleburkan diri dan Perseroan/Badan Usaha
yang meleburkan diri berakhir karena hukum.
– Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk
memperoleh atau mendapatkan baik seluruh atau sebagian saham dan atau asset
Perseroan/Badan Usaha. yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian
terhadap Perseroan/Badan Usaha tersebut Terdapat sepuluh jenis perjanjian dan
kegiatan usaha yang dikecualikan dari aturan UU No. 5/1999 (sebagaimana diatur
di pasal 50 dan 51 UU No.5/1999). Sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha
yang dikecualikan tersebut berpotensi menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya
karena dimungkinkan munculnya penafsiran yang berbeda-beda antara pelaku usaha
dan KPPU tentang bagaimana seharusnya melaksanakan sepuluh jenis perjanjian
dan kegiatan usaha tersebut tanpa melanggar UU No. 5/1999. Bisa jadi suatu
perjanjian atau suatu kegiatan usaha dianggap masuk dalam kategori pasal 50 UU
No. 5/1999 oleh pelaku usaha, tetapi justru dianggap melanggar undang-undang
oleh KPPU. Oleh karena itu, perlu adanya ketentuan lanjutan yang lebih detil
mengatur pelaksanaan sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha tersebut demi
menghindarkan salah tafsir dan memberikan kepastian hukum baik bagi pengusaha
maupun bagi KPPU. Sebagaimana dapat dibaca di pasal 50 dan 51, aturan tentang
sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha tersebut masing-masingnya diatur
dengan sangat singkat, dalam satu kalimat saja.
5. Hal-hal yang Dikecualikan dalam Monopoli
Hal-hal yang dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli adalah
sebagai berikut :
(1) Perjanjian-perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan
pasar, yang diantaranya terdiri dari :
(a) Oligopoli
(b) Penetapan harga
(c) Pembagian wilayah
(d) Pemboikotan
(e) Kartel
(f) Trust
(g) Oligopsoni
(h) Integrasi vertikal
(i) Perjanjian tertutup
(j) Perjanjian dengan pihak luar negeri
(2) Kegiatan-kegiatan tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan
pasar, yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
(a) Monopoli
(b) Monopsoni
(c) Penguasaan pasar
(d) Persekongkolan
(1) Perjanjian-perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan
pasar, yang diantaranya terdiri dari :
(a) Oligopoli
(b) Penetapan harga
(c) Pembagian wilayah
(d) Pemboikotan
(e) Kartel
(f) Trust
(g) Oligopsoni
(h) Integrasi vertikal
(i) Perjanjian tertutup
(j) Perjanjian dengan pihak luar negeri
(2) Kegiatan-kegiatan tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan
pasar, yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
(a) Monopoli
(b) Monopsoni
(c) Penguasaan pasar
(d) Persekongkolan
(3) Posisi dominan,
yang meliputi :
(a) Pencegahan konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang bersaing
(b) Pembatasan pasar dan pengembangan teknologi
(c) Menghambat pesaing untuk bisa masuk pasar
(d) Jabatan rangkap
(e) Pemilikan saham
(f) Merger, akuisisi, konsolidasi
6. Komisi Pengawasan Persaingan Usaha
(a) Pencegahan konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang bersaing
(b) Pembatasan pasar dan pengembangan teknologi
(c) Menghambat pesaing untuk bisa masuk pasar
(d) Jabatan rangkap
(e) Pemilikan saham
(f) Merger, akuisisi, konsolidasi
6. Komisi Pengawasan Persaingan Usaha
Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk
memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
KPPU menjalankan tugas untuk mengawasi tiga hal pada UU tersebut:
KPPU menjalankan tugas untuk mengawasi tiga hal pada UU tersebut:
1. Perjanjian yang dilarang, yaitu melakukan perjanjian dengan pihak
lain untuk secara bersama-sama mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang
dan/atau jasa yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha
tidak sehat seperti perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot,
perjanjian tertutup, oligopoli, predatory pricing, pembagian wilayah, kartel,
trust (persekutuan), dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat
menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.
2. Kegiatan yang dilarang, yaitu melakukan kontrol produksi dan/atau
pemasaran melalui pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan
praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
3. Posisi dominan, pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang
dimilikinya untuk membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau
menghambat bisnis pelaku usaha lain.
Dalam pembuktian, KPPU menggunakan unsur pembuktian per se
illegal, yaitu sekedar membuktikan ada tidaknya perbuatan, dan pembuktian rule
of reason, yang selain mempertanyakan eksistensi perbuatan juga melihat dampak
yang ditimbulkan.
Keberadaan KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat:
1. Konsumen tidak lagi menjadi korban posisi produsen sebagai price taker
2. Keragaman produk dan harga dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan
3. Efisiensi alokasi sumber daya alam
4. Konsumen tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya,
yang lazim ditemui pada pasar monopoli
5. Kebutuhan konsumen dapat dipenuhi karena produsen telah meningkatkan
kualitas dan layanannya
6. Menjadikan harga barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya
produksi
7. Membuka pasar sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak
8. Menciptakan inovasi dalam perusahaan
7. Sanksi dalam Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Keberadaan KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat:
1. Konsumen tidak lagi menjadi korban posisi produsen sebagai price taker
2. Keragaman produk dan harga dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan
3. Efisiensi alokasi sumber daya alam
4. Konsumen tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya,
yang lazim ditemui pada pasar monopoli
5. Kebutuhan konsumen dapat dipenuhi karena produsen telah meningkatkan
kualitas dan layanannya
6. Menjadikan harga barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya
produksi
7. Membuka pasar sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak
8. Menciptakan inovasi dalam perusahaan
7. Sanksi dalam Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah
melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai
ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di
pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada
pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam
sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski
KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi administrative.
UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.
UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.
Pasal 48
(1) Pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal
16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana
denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah)
dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana
kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal
20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana
denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan setinggi
tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana
kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana
denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi
tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti
denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Pasal 49
16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana
denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah)
dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana
kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal
20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana
denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan setinggi
tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana
kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana
denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi
tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti
denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan Pasal
10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam
Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; atau
b. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran
terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
c. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnva
kerugian pada pihak lain.
Aturan ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan dalam konteks pidana.
b. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran
terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
c. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnva
kerugian pada pihak lain.
Aturan ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan dalam konteks pidana.
Nara
Sumber :
BAB
14
PENYELESAIAN
SENGKETA EKONOMI
1. Pengertian Sengketa
Sengketa adalah perilaku
pertentangan antara kedua orang atua lembaga atau lebih yang menimbulkan suatu
akibat hukum dan karenanya dapat diberikan sanksi hukum bagi salah satu
diantara keduanya.
2. Cara-cara Penyelesaian Sengketa
Sengketa dapat di selesaikan
dengan berbagai cara dintara nya :
-
Negosiasi
- Mediasi
-
Arbitrasi
-
Konsiliasi
- Enquiry
(Penyelidikan)
-
Pengadilan
3. Negosiasi
Negosiasi adalah suatu bentuk
pertemuan antara dua pihak: pihak kita dan pihal lawan dimana kedua belah pihak
bersama-sama mencari hasil yang baik, demi kepentingan kedua pihak.
4. Mediasi
Melibatkan pihak ketiga (third
party) yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga dapat berupa
individu atau kelompok (individual or group), negara atau kelompok negara atau
organisasi internasional.
Dalam mediasi, negara ketiga
bukan hanya sekedar mengusahakan agar para pihak yang bersengketa saling
bertemu, tetapi juga mengusahakan dasar-dasar perundingan dan ikut aktif dalam
perundingan, contoh: mediasi yang dilakukan oleh Komisi Tiga Negara (Australia,
Amerika, Belgia) yang dibentuk oleh PBB pada bulan Agustus 1947 untuk mencari
penyelesaian sengketa antara Indonesia dan Belanda dan juga mediasi yang
dilakukan oleh Presiden Jimmy Carter untuk mencari penyelesaian sengketa antara
Israel dan Mesir hingga menghasilkan Perjanjian Camp David 1979.
5. Arbitrase
mengenai makna maupun arti dari
konsultasi. Jika dilihat dalam Black’s Law Dictionary, dapa diketahui bahwa
yang dimaksud dengan konsultasi (consultasion) adalah:
“act of consuling or confering:
e.g. patient with doctor; client with Lawyer. Deliberation of person on some
subject. A conference between the counsel enganged in a cae, to discuss its
question or arrange the method Of conducting”
6. Perbandingan
antara Perundingan, Arbitrase, dan Ligitasi
Negosiasi atau perundingan adalah
cara penyelesaian sengketa dimana para pihak yang bersengketa saling melakukan
kompromi untuk menyuarakan kepentingannya. Dengan cara kompromi tersebut
diharapkan akan tercipta win-win solution dan akan mengakhiri sengketa tersebut
secara baik.
Arbitrase adalah cara
penyelesaian sengketa yang mirip dengan litigasi, hanya saja litigasi ini bisa
dikatakan sebagai "litigasi swasta" Dimana yang memeriksa perkara
tersebut bukanlah hakim tetapi seorang arbiter. Untuk dapat menempuh prosesi
arbitrase hal pokok yang harus ada adalah "klausula arbitrase" di
dalam perjanjian yang dibuat sebelum timbul sengketa akibat perjanjian
tersebut, atau "Perjanjian Arbitrase" dalam hal sengketa tersebut
sudah timbul namun tidak ada klausula arbitrase dalam perjanjian sebelumnya.
Ligitasi Adalah sistem
penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Sengketa yang terjadi dan
diperiksa melalui jalur litigasi akan diperiksa dan diputus oleh hakim. Melalui
sistem ini tidak mungkin akan dicapai sebuah win-win solution (solusi yang
memperhatikan kedua belah pihak) karena hakim harus menjatuhkan putusan dimana
salah satu pihak akan menjadi pihak yang menang dan pihak lain menjadi pihak
yang kalah.
Nara
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar